Senin, 28 Mei 2018

Investor Listrik Lebih Khawatir Regulasi Dibanding Tahun Politik


Agen game bandarq online -  “Regulasi ketenagalistrikan kita tidak menarik, kalah jauh dari Vietnam, makin mengkhawatirkan karena mundur jauh ke belakang seperti sebelum reformasi. Sedangkan stabilitas politik kita sudah diakui dunia. Investor adem-adem saja,” ujar Juru Bicara APLSI, Rizal Calvary dalam keterangan resminya di Jakarta,

Dia melihat, pemerintah secara tidak langsung mengakui buruknya regulasi kelistrikan bagi investor. Dia mencontohkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merevisi target investasi sektor energi dan minerba pada 2018 menjadi hanya sebesar USD 37,2 miliar dari target sebelumnya sekitar USD 50,12 miliar.

"Artinya Kementerian ESDM pesimistis dengan regulasinya sendiri,” tegas Rizal.

Rizal lebih jauh mengatakan, penurunan target terbesar justru datang dari investasi ketenagalistrikan dari sebelumnya USD 24,88 miliar menjadi USD 12,2 miliar dan energi baru terbarukan (EBT) sebesar USD 2 miliar.

“Kita melihat Kementerian ESDM realistis dengan regulasi-regulasi yang ada saat ini sangat susah untuk menarik minat investasi pihak swasta. Regulasi makin tidak menarik bagi investor,” ujar dia.


judi poker - Tambahnya, iklim investasi ketenagalistrikan yang jeblok disebabkan banyaknya regulasi baru yang dibuat tahun lalu dan tidak bersahabat dengan pengembang ketenagalistrikan. Tahun lalu, hampir setiap bulan muncul Permen (Peraturan Menteri).

Tahun ini, walaupun Kementerian ESDM sudah memangkas banyak regulasi setelah diperintahkan oleh Presiden Joko Widodo, namun regulasi yang dipangkas bukan regulasi yang substansial.

“Regulasi yang dipangkas hanya yang sekunder, tidak ada kaitannya secara langsung dengan investasi. Bahkan ada Permen yang sudah kadaluarsa juga ikut dipangkas,” papar dia.

Dikatakan Rizal, semestinya regulasi yang dipangkas atau diperbaharui adalah pertama, Permen (Peraturan Menteri) No. 10 Tahun 2017 tentang pokok-pokok dalam perjanjian jual-beli tenaga listrik (PJBL) yang kemudian diubah dengan Permen Np.49 Tahun 2017. Kedua, Permen No. 48 Tahun 2017 tentang pengawasan pengusahaan sektor energi dan sumber daya mineral. Utamanya, pasal 11 ayat 1 sampai 3 terkait pengalihan saham sebelum commercial operation date. Ketiga, Permen No. 50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi baru terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.

Rizal mengatakan, target investasi Energi Baru Terbarukan (EBT) 2018 juga dipasang sangat rendah sebesar US$ 2 miliar, tidak jauh dari tahun lalu.

“Ini pun, kita lihat bakal meleset sama seperti tahun lalu. Sebab regulasi di EBT ini juga tak menarik untuk swasta atau investor. Mempersulit iya,” ujar dia.


domino qq - Dia menambahkan, pencapaian investasi EBT, bahkan menunjukan tren yang terus menurun. Pada 2016, capaian investasi EBT sebesar Rp 21,25 triliun. Sedangkan pada 2017, realisasinya juga meleset menjadi Rp 17,66 triliun dari target sebesar Rp Rp 21,06 triliun.

Rizal mengungkapkan, investasi di EBT sempat mengalami tren positif. Pada 2014, investasi EBT mencapai Rp 8,63 triliun. Lalu naik menjadi Rp 13,96 triliun pada 2015. Lalu puncaknya pada 2016 mencapai Rp 21,25 triliun.

“Setelah itu menurun lagi,” ucap dia.

Salah satu penyebab adalah harga jual lisrik diatur dalam peraturan Menteri ESDM No 50/2017 tentang pemanfaatan Energi Baru Terbarukan yang dinilai tidak menarik. Harga jual dalam aturan tersebut maksimal hanya 85 persen dari biaya pokok produksi (BPP) PT PLN di masing-masing wilayah. Padahal sebelumnya bisa mencapai 115 persen dari BPP.

Menurutnya, rendahnya target dan realisasi EBT membuat sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia semakin tergantung pada energi primer yang tidak efisien, serta mahal sebab mudah terombang-ambing oleh harga minyak dunia.

“Padahal, negara lain sudah berlomba mengembangkan EBT. China misalnya investasi energi terbarukan menjadi terbesar di dunia. Negara ini menyumbang sepertiga dari investasi energi terbarukan dunia Begitu juga Jepang, India. Investasi energi terbarukan terbesar berada di Asia. Kemudian Uni Eropa dan Amerika Serikat,” tandas Rizal.

0 komentar:

Posting Komentar